MY DREAMS!!!

BISMILLAH !!!!

PENDIDIKAN DOKTER 2009

THE BEST TEAM!!! GOOD JOB GOOD JOB!!!!

LAKESMA 2011-2012

ONE TEAM ONE FAMILY !!!!

TED-LAKESMA IN ACTION!!!

TEAM OF EMERGENCY AND DISASTER BRAWIJAYA UNIVERSITY : BROMO ERUPTION

Defry and Benny

Bismillah ! adik dan kakak yang slalu kompak!

Senin, 08 Januari 2018

RESENSI FILM : CODE BLUE SEASON 3


Setelah lama tidak ada kabar, akhirnya code blue season 3 muncul. Pada season kali ini, code menampilkan cerita baru dimana setelah kepindahan  Kousaku Aizawa (Tomohisa Yamashita) ke departemen bedah saraf dan  Mihoko Hiyama (Erika Toda) yang sedang studi fetomaternal di rumah sakit lain,  Megumi Shiraishi (Yui Aragaki) mengalami kesulitan dalam mengatur kepadatan departemen emergensi. Walaupun ada tiga dokter fellowship, Shiraishi, Kazuo Fuikawa (Yosuke Asari), Haruka Saejima (Manami Higa)  beserta tim lainnya  banyak mengalami kegagalan dalam menyelamatkan pasien.

Pada season kali ini, ke lima tokoh utama code blue pada season sebelumnya, akhirnya bertemu sebagai sebuah tim kembali. Mereka dihadapkan dengan berbagai masalah mulai dari mendidik fellowship, konflik kepentingan untuk karir selanjutnya, dan tidak kalah serunya kasus-kasus yang unik dan seru. Jadi jangan lewatkan melihat film ini, kalian pasti akan mendapatkan pandangan baru dari dunia medis dan juga ilmu kedokteran. link download dapat di klik disini.

Sabtu, 15 Februari 2014

LYMPHATIC MALFORMATION / MALFORMASI LIMFATIK


Lesi vaskuler pada kulit dapat dibagi menjadi lesi yang didapat (Acquired vascular lesions) dan lesi kongenital (Congenital vascular lesions) atau Vascular Malformations (VMs). Vascular Malformation (VMs) adalah lesi vaskuler kongenital karena kelainan pembentukan vaskuler saat perkembangan embrio. VMs tidak berkembang namun dilatasi dari vaskuler tersebut secara bertahap terus membesar. Klasifikasi VMs berdasarkan dari tipe vaskuler adalah slow-flow lessions (kapiler, vena, limfatik), high-flow lessions (arteri) dan kombinasi dari slow/fast-flow lessions. Berdasarkan ukuran lumen limfatik, lesi dibagi menjadi microcystic lesions (lymphangiomas), macrocystic lesions (cystic hygromas) dan bentukan kombinasi (Medscape, 2010).

Lymphatic Malformation (LM) dulunya disebut sebagai lymphangioma merupakan malformasi vaskuler yang sering terjadi karena adanya gangguan pada perkembangan sistem duktus limfatikus. Patofisiologi dari pembentukan Lymphatic Malformation itu sendiri sampai sekarang masih sulit dimengerti sehingga belum ditemukan cara untuk mencegah pembentukannya. Lesi dari Lymphatic Malformation diklasifikasikan menjadi macrocystic (> 1 cm), microcystic (< 1 cm) atau gabungan dari keduanya. Lymphatic Malformation terbentuk dari bentukan cystic dan solid matrix element (fibrous tissue, smooth muscle dan microscopic cystic space). Pada lesi macrocystic lebih dominan bentukan cystic daripada solid matrix element, lesi ini biasa disebut dengan “Cistyc hygroma”. Sedangkan untuk lesi microcystic didapatkan multiple infiltrat pada soft tissue (kulit). Jenis lesi tersebut dapat mempengaruhi  tindakan pengobatan yang akan dilakukan, apakah akan dilakukan surgical resection atau nonsurgical ablation techniques (William, 2012).

Management dan Terapi Malformasi Limfatik
Management dan terapi malformasi limfatik terdiri dari management medis dan  managament bedah
1.      Management medis
  •  Local pressure
      Stocking elastis dapat membantu mengurangi bengkak yang berhubungan dengan malformasi limfatik di ekstrimitas (Cohen et al, 2013).
  •  Antibiotik
      Infeksi virus bakteri bisa menyebabkan infeksi akut malformasi limfatik. Infeksi ini berhubungan dengan pembengkakan akut, nyeri, tenderness, kemerahan, dan demam sistemik. Pada keadaan ini diperlukan antibiotik IV dan NSAID (Cohen et al, 2013).
  •   Skleroterapi
      Injeksi sklerosan transkutan seperti alkohol atau sodium tetradecyl sulphate (STS) dapat membantu menurunkan malformasi limfatik. Injeksi ini sering digunakan untuk malformasi makrositik dan kombinasi lesi venous-lymphatic. Prosedurnya menyakitkan, sehingga harus dilakukan dengan general anasthesia (Cohen et al, 2013).Untuk lesi kistik yang besar dengan lokasi yang sulit untuk dilakukan interberensi pembedahan, dilakukan injeksi OK-432. OK-432 merupakan antibodi monoklonal yang diprosuksi dari inkubasi dan interaksi Streptococcus pyogenes dengan penicilin (Cohen et al, 2013). Terapi ini masih dalam penelitian namun pada beberapa kasus yang sulit terapi ini terbukti berhasil (Mulholland et al, 2010). Selain dengan substrat diatas. Skleroterapi juga dapat dilakukan dengan laser. Keuntungan penggunaan skleroterapi laser adalah hasil yang lebih baik dan lebih cepat dalam tatalaksananya (Fabulousleg, 2014).

2.      Management bedah
      Eksisi bedah total adalah terapi yang optimal terhadap malformasi limfatik, namun dalam proses pembedahan tersebut perlu mempertimbangkan:
o   Kontrol perdarahan intra operatif dan post operatif
o   Resiko terhadap organ lain yang berdekatan(Cohen et al, 2013).
Malformasi limfatik Macrocystic dan microcystic dari orbita pada gadis 6 tahun .Foto klinis dari seorang gadis 6 tahun (A) menunjukkan proptosis berat dan ecchymosis karena LM intraorbital yang besar. Gambar T2 coronal (B) orbital campuran makro dan microcystic LM kiri (panah) membungkus saraf optik (panah). Koronal T2 gambar (C) mendefinisikan elemen microcystic dari LM (panah). Kontras cystogram gambar (D) menunjukkan drainase kateter 5F dengan kontras untuk drainase dan ablasi elemen macrocystic (panah). Gambaran selama pengobatan AS mengarah pada microcyst (E) dengan jarum 25G (panah) paling kiri dari 2 microcyst, mengandung busa doksisiklin echogenic (panah melengkung). Panah lurus menunjukkan microcyst berdekatan yang akan diperlakukan berikutnya dengan busa doxycycline echogenic. Foto klinis 10 bulan setelah pengobatan (F) menunjukkan resolusi proptosis dan peningkatan ketajaman visual untuk 20/100 . Gambar dicetak ulang dengan izin Pediatric Arah 2011; Vol . 38 , NCH

RESENSI FILM: CODE BLUE SEASON 1


"If it can be treated one second earlier, the heart might start beating again.
If there is one extra helicopter, another life in danger may be saved.
There are more lives in this country that can be saved."


      Beberapa kalimat diatas  merupakan gambaran  dari apa yang akan diceritakan pada film ini. Film ini bercerita tentang  program yang dinamakan “Doctor Helicopter”  yang  diresmikan jepang pada tahun  2007.  Tim medis akan diterjunkan langsung ke tempat kejadian untuk dapat menangani masalah pasien secepatnya baik pada tahap triase maupun pada penatalaksanaan lapangan. 

     Pada film ini diceritakan terdapat empat orang dokter baru yang akan mengikuti pelatihan pada program ini. keempat orang tersebut terdiri dari dua orang perempuan dan dua laki-laki. Keempatnya bersaing untuk mendapatkan posisi sebagai dokter pilihan sang supervisor dalam melaksanakan misi-misi doctor helicopter. Situasi persaingan ini membuat drama ini seru selain kasus- kasus yang menarik. Beberapa kasus berceritakan tentang trauma tunggal dan beberapa kasus lainnya tentang bencana dengan korban yang cukup banyak. Dari film ini kita dapat menggali berbagai hal terkait triase, penangan awal, penangan lanjutan, dan sisi humanitas terkait penangan pasien dan profesi dokter.
        Nah, jika tertarik, silahkan download gratis code blue season 1 pada link di blog ini.

Sabtu, 15 Juni 2013

DNA Ploidy by Flow Cytometry !!!

       Penghitungan konten DNA dengan flowsitometri tersedia untuk memberikan estimasi jumlah sel pada fase siklus sel tertentu (G0/1, S, atau G2M) dan DNA ploidy. Pada sebagian besar kasus DNA ploidy dianalisa pada jaringan darah atau pada tumor padat. Bukti adanya aneuploidi merupakan tanda definitif dari adanya tumor. Selain sebagai diagnosis, adanya aneuploidi juga merupakan parameter yang dilihat untuk memprediksi suatu prognosis dan hasil dari suatu terapi.
      Untuk memeriksa ploidi DNA dari suatu sampel tumor, hal yang harus dilakukan adalah membandingkan antara konten DNA dari populasi sel G0/G1 dari sel tumor dengan sel kontrol normal. Pada sel normal nilai puncak dari intensitas floresens dinyatakan dalam indeks DNA dengan nilai 1 (DI=1). Pada sel tumor DI dinyatakan sebagai rasio perbandingan antara nilai puncak floresens sel tumor dengan sel normal pada Go/1 seperti yang dinyatakan diatas. Terdapat juga analisa DI yang lazim dilakukan dengan membandingkan nilai modus intensitas foresen dibanfing menggunakan nilai puncaknya. Banyak autor lain masih cenderung menggunakan nilai rata-rata dari intensitas floresens populasi G0/1 daripada dengan menggunakan modus untuk mendapatkan rasio DI. Dari beberapa pendapat tersebut, pada intinya ketika pengukuran DNA dilakukan secara tepat, beberapa cara pendekatan di atas juga akan menunjukkan estimasi nilai DI yang sama dari sel aneuploidi. Sebagai sel kontrol biasanya digunakan limfosir dari pasien yang sama sebagai kontrol standar eksternal dari DI=1.
            Untuk meningkatkan nilai identifikasi DI, dibutuhkan pengunaan sel normal baik sebagai standar kontrol internal maupun eksternal. Ketika digunakan sebagai kontrol eksternal, sel tersebut ditujukan untuk menentukan prosedur pewarnaan dan pemrosesan serta penghitungan pada detektor laser yang identik dengan sampel tumor. Sel kontrol eksternal limfosit   sebaiknya dihitung baik sebelum dan sesudah penghitungan sampel tumor. Penghitungan ganda ini ditujukan untuk memungkinkan mendeteksi adanya kemungkinan perubahan pada pembacaan floresens misalnya akibat pengaturan yang salah pada instrumen pada penghitungan yang berjalan. Selain itu, kontrol eksternal, sel normal seharusnya dicampurkan dengan proporsi 1:1 dengan sampel sel tumor dan dapat digunakan sebagai kontrol internal pada paket penghitungan lain.
            Selain dapat diambil dari sel lain diluar jaringan tumor, kontrol internal juga dapat diambil pada jaringan tumor karena adanya sel stromal atau sel infiltrat yang normal  yang juga dapat digunakan sebagai kontrol internal dari ploidi DNA. Secara fakta, ketika ploidi DNA dianalisa pada penghitungan nukleus di jaringan yang telah diparafinisasi, kontrol internal dari adanya sel stromal atau sel infiltrat  normal merupakan satu-satunya cara dalam menganalisa ploidi DNA dari sel tumor. Hal ini dapat disebabkan karena kemampuan pewarnaan DNA setelah fiksasi dengan formaldehid dan parafinisasi mengalami perubahan sehingga penggunaanya sebagai standar eksternal tidak bisa bermanfaat lagi.

            Contoh dari penggunaan kontrol eksternal dan internal dapat ditemukan pada penggunaan eritrosit ayam dan limfosit. Sel eritrosit  ayam yang segar ataupun yang telah terfiksasi dapat digunakan sebagai kontrol internal. Sedangkan sel limfosit sebagai kontrol eksternal. Keduanya digunakan utnuk mengetahui konsistensi dari metode pengukuran seperti telihat pada gambar 1 dan 2 di bawah.
 GAMBAR 1.  Blood lymphocytes (blue) used as external control for DNA ploidy analysis by flow cytometry. DNA ploidy of liver biopsy from HCC patient (red).

GAMBAR 2. Chicken red blood cells can be used as internal control during

DNA ploidy analysis by flowcytoemtry.

Source:

Sa Wang et al. 2004. Detection of Aneuploid Neoplastic T Cells in the Blood Is Associated With Large Cell Transformation in Tissue. Am J Clin Pathol 2004;122:774-782.

Zbigniew Darzynkiewicz dan Gloria Juan.1997. DNA Content Measurement for DNA Ploidy. and Cell Cycle Analysis. Current Protocols in Cytometry (1997) 7.5.1-7.5.24.


--- TERIMAKASIH, SEMOGA BERMANFAAT ---
                                                                                                                

Application of Cell Cycle detection by Flow Cytometry !!!


Flowsitometri merupakan suatu metode yang diaplikasikan untuk mampu menganalisa berbagai komponen seluler (asam nukleat, lemak, protein dll),organel (lisosom, mitokondria dll), bahkan fungsi ( viabilitas, aktivitas enzimatis dll).Salah satu manfaat dari flowsitometri adalah analisa  siklus sel. Analisa siklus sel dengan flowsitometri merupakan hal yang menarik untuk dikaji baik pada penelitian dasar maupun pada ranah biomedik.
Penerapan analisis siklus sel pada berbagai bidang memiliki poteni yang besar untuk terus dikembangkan. Pada bidang farmakologi, flowsitometri menyediakan kesempatan untuk menyelidiki efek terapi obat secara in vitro seperti efikasi dari faktor-faktor anti tumor untuk mengembangkan terapi baru. Pada onkologi, jumlah DNA sel dan distribusinya pada berbagai fase dalam siklus sel dapat dianalisa untuk mendeteksi sel yang patologisuntuk menentukan prognosis maupun untuk monitoring terapi. Analisa siklus sel dengan flowsitometri juga tidak terbatas digunakan pada model eksperimen selain hewan dan famili tumbuhan tingkat tinggi saja, namun juga dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pada model eksperimen seperti bakteri, jamur, ataupun alga uniseluler. Untuk aplikasi analisa siklus sel dengan flowsitometri lainnya akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini:
A.    Farmakologi dan toksikologi
Analisa monoparametrik  atau multiparametrik  dari siklus sel termasuk studi kinetika dapat digunakan untuk mengevaluasi efek obat in vitro. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas, fase aksi sepesifik, pengaruh pada metaolisme sel atau posisi pada siklus dimana sel tersebut terbunuh oleh karena suatu obat. Oleh karena manfaat tersebut, metode ini dapat mengkarakterisasi  sifat obat dan memberikan prediksi efek obat in vivo dan mengevaluai sensitivitas atau resisitensi untuk dapat menentukan langkah selanjutnya termasuk penggantian terapi.
B.     Patologi tumoral
    1.      Diagnosis berdasarkan konten DNA
Berbagai tumor  baik ganas maupun lesi prekanker memiliki asosiasi dengan abnormalitas pada jumlah DNA yang didapat dari aberasi kromosomal. Sehingga, dibutuhkan informasi yang dapat didapat dari flowsitometri sehingga nantinya diperoleh informasi berupa indeks DNA. Indeks DNA merupakan rasio antara konten relatif DNA pada sel tumor pada fase G1 dengan  sel diploid normal.Ketika sel memiliki abnormalitas konten DNA, indeks DNA akan berbeda dari satu (1) dan disebut populasi aneuploid. Indeks DNA yang dihitung dengan flowsitometri  memiliki korelasi yang baik dengan jumlah kromosom terutama pada leukimia dan tumor padat.Populasi aneuploidi merupakan indikator yang baik untuk mengetahui adanya tumor ganas. Akan tetapi. Konten DNA memiliki keterbatasan sebagai metode diagnostik karena resolusi analisis kadangkala tidak cukup untuk menunjukkan populasi yang berbeda sedikit dengan sel diploid  seperti pada beberapa jenis leukimia.

2.      Nilai diagnostik berdasarkan aktivitas proliferasi  
Repartisi sel pada berbagai fase siklus sel  merupakan informasi yang penting olehkarena beberapa tumor memiliki karakter khas berupa proliferasi seluler yang tak terkontrol. Jumlah sel pada fase S, secara langsung yang memiliki hubungan erat dengan proliferasi merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Akan tetapi, walaupun pada beberapa jenis tumor berkorelasi dengan tingginya angka proliferasi seperti pada acute myeloblastic leukemias dan limfoma, juga terdapat sel yang sangat rendah tingkat proliferasinya seperti acute lymphoblastic leukemias dantumor padat terutama tumor diploid. Oleh karena itu, proliferasi seluler memiliki keterbatasan sebagai alat diagnostik. Hal ini dapat disebabkan oleh karena perbedaan presentasi sel pada fase S (S%) tergantung pada besarnya tumor atau lokasi pengambilan.
       3.      Nilai prognosis dari analisa siklus sel
Manfaat lain dari flowsitometri  pada analisis siklus sel adalah sebagai parameter prognosituk pada reversi secara patologi. Pada beberapa kasus, tumor diploid memberikan hasil prognosis yang lebih baik daripada tumor aneuploidi yang berkorelasi pada nilai indeks DNA. Ketika tumor merupakan tumor aneuploidi,  remisi komplit  membutuhkan waktu yang lebih lama pada beberapa limfoma dan angka rekurensi sangat tinggi seperti pada tumor kandung kemih. Pada kasus leukimia atau mieloma, aneuploidi merupakan salah satu parameter prognosis yang buruk. Angka keselamatan pasien akan lebih baik jika S%  rendah. Parameter S% ini memiliki nilai prognosis pada tumor payudara namun kurang diteliti tidak seperti pada indeks DNA. Pada kasus limfoma, grading secara umum berkorelasi denagan proliferasinya, ketika ditemukan low grade dengan S% yang tinggi, limfoma tersebut kemungkinan akan bertransformasi menjadi bentuk high grade.
4.      Monitoring obat pada proses terapi
Flowsitometri  juga dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi dengan menganalisa pada populasi tumor.  Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efek radioterapi atau kemoterapi Analisa dapat mendeteksi resistensi terhadap regimen terapi yang nantinya dapat menentukan keputusan berikutnya. Pada kasus leukimia dan limfoma, flowsitometri dapat menentukan efisiensi terapi. Metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi sel  tumor yang tersisa yang dapat menyebabkan relaps. Konten DNA dapat dianalisa secara bersamaan dengan indikator tumor untuk mendeteksi adanya modifikasi dari ekspresi yang mungkin menandai adanya transisi dari tingkatan keganasan tumor maupun respon terhadap terapi.
 C.    Aplikasi lainnya
Secara aplikasi selain pada terapi kanker dan farmakologi, masih banyak manfaat dari analisa siklus sel dengan flowsitometri. Analisis siklus sel secara luas terbukti mampu mengambil peran luas pada peningkatan pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu seperti pada studi sperma dan sel testikular, atau pada interaksi antara virus dan sel. Analisa ini juga terbukti pada beberapa tipe sel lain diluar sel yang lazim dianalisa seperti pada bakteri, jamur, fitoplankton ataupun alga.
Pada studi sel testikular, analisa ini mampu membantu membedakan antara  sel haploid, diploid, dan tetraploid berdasarkan jumlah DNAnya. Selain itu, hasil yang lebih akurat mampu didapatkan berkat adanya analisa bivariat pada DNA dan RNA setelah pemberian pewarnaan dengan acridine orange atau setelah inkorporasi dengan BrdUrd. Analisa DNA juga ditujukan untuk mengetahui alterasi sel atau modifikasi pada berbagai  subpopulasi setelah terpapar oleh zat kimia tertentu  atau terpapar oleh radiasi ionik. Selain itu, terdapat kemungkinan dalam menentukan kualitas dari cairan semen atau untuk membedakan antara sel normal dengan sel tumor testis berdasarkan kondensasi kromatin seluler setelah in situ denaturasi DNA dan pewarnaan dengan acridine orange.
 Pada taraf interaksi virus dengan sel, beberapa studi yang fokus pada Simian virus 40 (SV40) mendapatkan bahwa sel yang terinfeksi terinduksi untuk melakukan sintesis DNA yang berkorelasi dengan peningkatan konten DNA. Analisa multiparametrik  pada konten DNA dan antigen T darusel yang terinfeksi SV40 juga telah dilakukan untuk membedakan gen yang diregulasi oleh siklus sel atau yang meregulasi siklus sel.
            Selain manfaat yang dapat diamati pada hewan atau pada tumbuhan tingkat tinggi, analisa siklus sel telah terealisasikan untuk diaplikasikan pada bakteri, terutama untuk proses studi efek obat. Analisa ini juga dapat digunakan untuk studi proses evolusi pada populasi jamur, efek stress lingkungan pada spesies fitoplankton ataupun proliferasi dari Euglena gracilis  akibat pengaruh vitamin B12.


 Source:

Chantal Jayat dan Marie Ratinaud. 1997. Cell cycle analysis by flow cytometry:  Principles and applications . Biol Cell (1993) 78, 15-25.

Rafael Nunez. 2001. DNA Measurement and Cell Cycle Analysis by Flow Cytometry. Curr. Issues Mol. Biol. (2001) 3(3): 67-70.


--- TERIMA KASIH, SEMOGA BERMANFAAT ---