MY DREAMS!!!

BISMILLAH !!!!

PENDIDIKAN DOKTER 2009

THE BEST TEAM!!! GOOD JOB GOOD JOB!!!!

LAKESMA 2011-2012

ONE TEAM ONE FAMILY !!!!

TED-LAKESMA IN ACTION!!!

TEAM OF EMERGENCY AND DISASTER BRAWIJAYA UNIVERSITY : BROMO ERUPTION

Defry and Benny

Bismillah ! adik dan kakak yang slalu kompak!

Sabtu, 15 Juni 2013

DNA Ploidy by Flow Cytometry !!!

       Penghitungan konten DNA dengan flowsitometri tersedia untuk memberikan estimasi jumlah sel pada fase siklus sel tertentu (G0/1, S, atau G2M) dan DNA ploidy. Pada sebagian besar kasus DNA ploidy dianalisa pada jaringan darah atau pada tumor padat. Bukti adanya aneuploidi merupakan tanda definitif dari adanya tumor. Selain sebagai diagnosis, adanya aneuploidi juga merupakan parameter yang dilihat untuk memprediksi suatu prognosis dan hasil dari suatu terapi.
      Untuk memeriksa ploidi DNA dari suatu sampel tumor, hal yang harus dilakukan adalah membandingkan antara konten DNA dari populasi sel G0/G1 dari sel tumor dengan sel kontrol normal. Pada sel normal nilai puncak dari intensitas floresens dinyatakan dalam indeks DNA dengan nilai 1 (DI=1). Pada sel tumor DI dinyatakan sebagai rasio perbandingan antara nilai puncak floresens sel tumor dengan sel normal pada Go/1 seperti yang dinyatakan diatas. Terdapat juga analisa DI yang lazim dilakukan dengan membandingkan nilai modus intensitas foresen dibanfing menggunakan nilai puncaknya. Banyak autor lain masih cenderung menggunakan nilai rata-rata dari intensitas floresens populasi G0/1 daripada dengan menggunakan modus untuk mendapatkan rasio DI. Dari beberapa pendapat tersebut, pada intinya ketika pengukuran DNA dilakukan secara tepat, beberapa cara pendekatan di atas juga akan menunjukkan estimasi nilai DI yang sama dari sel aneuploidi. Sebagai sel kontrol biasanya digunakan limfosir dari pasien yang sama sebagai kontrol standar eksternal dari DI=1.
            Untuk meningkatkan nilai identifikasi DI, dibutuhkan pengunaan sel normal baik sebagai standar kontrol internal maupun eksternal. Ketika digunakan sebagai kontrol eksternal, sel tersebut ditujukan untuk menentukan prosedur pewarnaan dan pemrosesan serta penghitungan pada detektor laser yang identik dengan sampel tumor. Sel kontrol eksternal limfosit   sebaiknya dihitung baik sebelum dan sesudah penghitungan sampel tumor. Penghitungan ganda ini ditujukan untuk memungkinkan mendeteksi adanya kemungkinan perubahan pada pembacaan floresens misalnya akibat pengaturan yang salah pada instrumen pada penghitungan yang berjalan. Selain itu, kontrol eksternal, sel normal seharusnya dicampurkan dengan proporsi 1:1 dengan sampel sel tumor dan dapat digunakan sebagai kontrol internal pada paket penghitungan lain.
            Selain dapat diambil dari sel lain diluar jaringan tumor, kontrol internal juga dapat diambil pada jaringan tumor karena adanya sel stromal atau sel infiltrat yang normal  yang juga dapat digunakan sebagai kontrol internal dari ploidi DNA. Secara fakta, ketika ploidi DNA dianalisa pada penghitungan nukleus di jaringan yang telah diparafinisasi, kontrol internal dari adanya sel stromal atau sel infiltrat  normal merupakan satu-satunya cara dalam menganalisa ploidi DNA dari sel tumor. Hal ini dapat disebabkan karena kemampuan pewarnaan DNA setelah fiksasi dengan formaldehid dan parafinisasi mengalami perubahan sehingga penggunaanya sebagai standar eksternal tidak bisa bermanfaat lagi.

            Contoh dari penggunaan kontrol eksternal dan internal dapat ditemukan pada penggunaan eritrosit ayam dan limfosit. Sel eritrosit  ayam yang segar ataupun yang telah terfiksasi dapat digunakan sebagai kontrol internal. Sedangkan sel limfosit sebagai kontrol eksternal. Keduanya digunakan utnuk mengetahui konsistensi dari metode pengukuran seperti telihat pada gambar 1 dan 2 di bawah.
 GAMBAR 1.  Blood lymphocytes (blue) used as external control for DNA ploidy analysis by flow cytometry. DNA ploidy of liver biopsy from HCC patient (red).

GAMBAR 2. Chicken red blood cells can be used as internal control during

DNA ploidy analysis by flowcytoemtry.

Source:

Sa Wang et al. 2004. Detection of Aneuploid Neoplastic T Cells in the Blood Is Associated With Large Cell Transformation in Tissue. Am J Clin Pathol 2004;122:774-782.

Zbigniew Darzynkiewicz dan Gloria Juan.1997. DNA Content Measurement for DNA Ploidy. and Cell Cycle Analysis. Current Protocols in Cytometry (1997) 7.5.1-7.5.24.


--- TERIMAKASIH, SEMOGA BERMANFAAT ---
                                                                                                                

Application of Cell Cycle detection by Flow Cytometry !!!


Flowsitometri merupakan suatu metode yang diaplikasikan untuk mampu menganalisa berbagai komponen seluler (asam nukleat, lemak, protein dll),organel (lisosom, mitokondria dll), bahkan fungsi ( viabilitas, aktivitas enzimatis dll).Salah satu manfaat dari flowsitometri adalah analisa  siklus sel. Analisa siklus sel dengan flowsitometri merupakan hal yang menarik untuk dikaji baik pada penelitian dasar maupun pada ranah biomedik.
Penerapan analisis siklus sel pada berbagai bidang memiliki poteni yang besar untuk terus dikembangkan. Pada bidang farmakologi, flowsitometri menyediakan kesempatan untuk menyelidiki efek terapi obat secara in vitro seperti efikasi dari faktor-faktor anti tumor untuk mengembangkan terapi baru. Pada onkologi, jumlah DNA sel dan distribusinya pada berbagai fase dalam siklus sel dapat dianalisa untuk mendeteksi sel yang patologisuntuk menentukan prognosis maupun untuk monitoring terapi. Analisa siklus sel dengan flowsitometri juga tidak terbatas digunakan pada model eksperimen selain hewan dan famili tumbuhan tingkat tinggi saja, namun juga dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan pada model eksperimen seperti bakteri, jamur, ataupun alga uniseluler. Untuk aplikasi analisa siklus sel dengan flowsitometri lainnya akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini:
A.    Farmakologi dan toksikologi
Analisa monoparametrik  atau multiparametrik  dari siklus sel termasuk studi kinetika dapat digunakan untuk mengevaluasi efek obat in vitro. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengetahui sitotoksisitas, fase aksi sepesifik, pengaruh pada metaolisme sel atau posisi pada siklus dimana sel tersebut terbunuh oleh karena suatu obat. Oleh karena manfaat tersebut, metode ini dapat mengkarakterisasi  sifat obat dan memberikan prediksi efek obat in vivo dan mengevaluai sensitivitas atau resisitensi untuk dapat menentukan langkah selanjutnya termasuk penggantian terapi.
B.     Patologi tumoral
    1.      Diagnosis berdasarkan konten DNA
Berbagai tumor  baik ganas maupun lesi prekanker memiliki asosiasi dengan abnormalitas pada jumlah DNA yang didapat dari aberasi kromosomal. Sehingga, dibutuhkan informasi yang dapat didapat dari flowsitometri sehingga nantinya diperoleh informasi berupa indeks DNA. Indeks DNA merupakan rasio antara konten relatif DNA pada sel tumor pada fase G1 dengan  sel diploid normal.Ketika sel memiliki abnormalitas konten DNA, indeks DNA akan berbeda dari satu (1) dan disebut populasi aneuploid. Indeks DNA yang dihitung dengan flowsitometri  memiliki korelasi yang baik dengan jumlah kromosom terutama pada leukimia dan tumor padat.Populasi aneuploidi merupakan indikator yang baik untuk mengetahui adanya tumor ganas. Akan tetapi. Konten DNA memiliki keterbatasan sebagai metode diagnostik karena resolusi analisis kadangkala tidak cukup untuk menunjukkan populasi yang berbeda sedikit dengan sel diploid  seperti pada beberapa jenis leukimia.

2.      Nilai diagnostik berdasarkan aktivitas proliferasi  
Repartisi sel pada berbagai fase siklus sel  merupakan informasi yang penting olehkarena beberapa tumor memiliki karakter khas berupa proliferasi seluler yang tak terkontrol. Jumlah sel pada fase S, secara langsung yang memiliki hubungan erat dengan proliferasi merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Akan tetapi, walaupun pada beberapa jenis tumor berkorelasi dengan tingginya angka proliferasi seperti pada acute myeloblastic leukemias dan limfoma, juga terdapat sel yang sangat rendah tingkat proliferasinya seperti acute lymphoblastic leukemias dantumor padat terutama tumor diploid. Oleh karena itu, proliferasi seluler memiliki keterbatasan sebagai alat diagnostik. Hal ini dapat disebabkan oleh karena perbedaan presentasi sel pada fase S (S%) tergantung pada besarnya tumor atau lokasi pengambilan.
       3.      Nilai prognosis dari analisa siklus sel
Manfaat lain dari flowsitometri  pada analisis siklus sel adalah sebagai parameter prognosituk pada reversi secara patologi. Pada beberapa kasus, tumor diploid memberikan hasil prognosis yang lebih baik daripada tumor aneuploidi yang berkorelasi pada nilai indeks DNA. Ketika tumor merupakan tumor aneuploidi,  remisi komplit  membutuhkan waktu yang lebih lama pada beberapa limfoma dan angka rekurensi sangat tinggi seperti pada tumor kandung kemih. Pada kasus leukimia atau mieloma, aneuploidi merupakan salah satu parameter prognosis yang buruk. Angka keselamatan pasien akan lebih baik jika S%  rendah. Parameter S% ini memiliki nilai prognosis pada tumor payudara namun kurang diteliti tidak seperti pada indeks DNA. Pada kasus limfoma, grading secara umum berkorelasi denagan proliferasinya, ketika ditemukan low grade dengan S% yang tinggi, limfoma tersebut kemungkinan akan bertransformasi menjadi bentuk high grade.
4.      Monitoring obat pada proses terapi
Flowsitometri  juga dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi dengan menganalisa pada populasi tumor.  Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efek radioterapi atau kemoterapi Analisa dapat mendeteksi resistensi terhadap regimen terapi yang nantinya dapat menentukan keputusan berikutnya. Pada kasus leukimia dan limfoma, flowsitometri dapat menentukan efisiensi terapi. Metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi sel  tumor yang tersisa yang dapat menyebabkan relaps. Konten DNA dapat dianalisa secara bersamaan dengan indikator tumor untuk mendeteksi adanya modifikasi dari ekspresi yang mungkin menandai adanya transisi dari tingkatan keganasan tumor maupun respon terhadap terapi.
 C.    Aplikasi lainnya
Secara aplikasi selain pada terapi kanker dan farmakologi, masih banyak manfaat dari analisa siklus sel dengan flowsitometri. Analisis siklus sel secara luas terbukti mampu mengambil peran luas pada peningkatan pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu seperti pada studi sperma dan sel testikular, atau pada interaksi antara virus dan sel. Analisa ini juga terbukti pada beberapa tipe sel lain diluar sel yang lazim dianalisa seperti pada bakteri, jamur, fitoplankton ataupun alga.
Pada studi sel testikular, analisa ini mampu membantu membedakan antara  sel haploid, diploid, dan tetraploid berdasarkan jumlah DNAnya. Selain itu, hasil yang lebih akurat mampu didapatkan berkat adanya analisa bivariat pada DNA dan RNA setelah pemberian pewarnaan dengan acridine orange atau setelah inkorporasi dengan BrdUrd. Analisa DNA juga ditujukan untuk mengetahui alterasi sel atau modifikasi pada berbagai  subpopulasi setelah terpapar oleh zat kimia tertentu  atau terpapar oleh radiasi ionik. Selain itu, terdapat kemungkinan dalam menentukan kualitas dari cairan semen atau untuk membedakan antara sel normal dengan sel tumor testis berdasarkan kondensasi kromatin seluler setelah in situ denaturasi DNA dan pewarnaan dengan acridine orange.
 Pada taraf interaksi virus dengan sel, beberapa studi yang fokus pada Simian virus 40 (SV40) mendapatkan bahwa sel yang terinfeksi terinduksi untuk melakukan sintesis DNA yang berkorelasi dengan peningkatan konten DNA. Analisa multiparametrik  pada konten DNA dan antigen T darusel yang terinfeksi SV40 juga telah dilakukan untuk membedakan gen yang diregulasi oleh siklus sel atau yang meregulasi siklus sel.
            Selain manfaat yang dapat diamati pada hewan atau pada tumbuhan tingkat tinggi, analisa siklus sel telah terealisasikan untuk diaplikasikan pada bakteri, terutama untuk proses studi efek obat. Analisa ini juga dapat digunakan untuk studi proses evolusi pada populasi jamur, efek stress lingkungan pada spesies fitoplankton ataupun proliferasi dari Euglena gracilis  akibat pengaruh vitamin B12.


 Source:

Chantal Jayat dan Marie Ratinaud. 1997. Cell cycle analysis by flow cytometry:  Principles and applications . Biol Cell (1993) 78, 15-25.

Rafael Nunez. 2001. DNA Measurement and Cell Cycle Analysis by Flow Cytometry. Curr. Issues Mol. Biol. (2001) 3(3): 67-70.


--- TERIMA KASIH, SEMOGA BERMANFAAT ---

Jumat, 24 Mei 2013

Apa itu transfusi darah dan bagaimana klasifikasi golongan darah? ( Transfusion PART 1 )

Pasti semua pernah dengar tentang transfusi darah. Biasanya kita mendengar kata trasnfusi darah ketika ada peristiwa kecelakaan atau saat ada donor darah masal yang diadakan oleh PMI. Nah kali ini kita akan membahas mengenai apa yang dimaksud trasnfusi darah dan bagaimana penggolongan darah kita.
Transfusi darah adalah salah satu terapi medik berupa pemberian darah baik dalam bentuk utuh atau salah satu komponennya saja. Transfusi darah juga merupakan salah satu terapi medik  yang  berpotensi menimbulkan penyulit terbesar terhadap resipien, baik dalam jangka pendek seperti reaksi transfusi, jangka menengah berupa penularan penyakit dan dalam jangka panjang seperti reaksi imunologis. Oleh karena itu sebelum transfusi dilaksanakan harus dipertimbangkan bahwa manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya, apalagi jika masih ada cara lain untuk menaikkan komponen darah maka sebaiknya tidak diberiksan transfusi.
Pada anemia, transfusi baru layak diberikan jika pasien menunjukkan tanda kekurangan oksigen seperti rasa sesak, mata berkunang, berdebar (palpitasi), pusing, gelisah atau kadar Hb < 6 g/dl.

Golongan Darah
      Jenis golongan darah tergantung jenis antigen yang terdapat pada dinding eritrosit. Telah diketemukan 25 jenis golongan darah seperti ABO, Rhesus, Kell, Duffy, Lewis, MNS, Lutheran, Diego, P, I, dan lain-lain, tetapi yang paling penting dalam transfusi darah adalah golongan darah ABO dan Rh karena imunogenitas/antigenitas keduanya yang paling kuat.

Antigen Golongan Darah
         Antigen (Ag) yang bersangkut paut dengan golongan darah merupakan glikoprotein dengan berat molekul (BM) 300.000 dan terletak pada dinding sel eritrosit.
Urutan pengaruh genetik terhadap antigen A,B,H pada eritrosit sebagai berikut:
  1. Bahan dasar mukopolisakarida diubah oleh gen-H menjadi ‘H-substance’
  2. H-substance sebagian diubah oleh gen-A atau gen-B menjadi Ag-A atau Ag-B, sebagian lain tetap menjadi H-substance (sebagai bahan Ag-H)
  3. Gen-O yang amorfik tidak dapat merubah H-substance
  4. Gen-H sendiri membentuk Ag-H, dengan demikian gololongan darah ABO semuanya mengandung Ag-H, tetapi kadar Ag-H paling tinggi terdapat pada gol.darah O karena  H-substance banyak terkumpul disini.
  
   Hubungan Gen dan antigen golongan darah

Antigen A,B dan H  selain terdapat pada eritrosit juga terdapat pada :
  1. Lekosit
  2. Trombosit
  3. Epidermis
  4. Spermatozoa
  5. Sel endotel vaskuler
  6. Sel sinusoid limpa, sedangkan antigen golongan darah Rhesus hanya terdapat pada eritrosit saja.


  Hubungan golongan darah ABO, antigen dan aglutininnya

 Golongan darah Oh (Bombay)
Hampir semua orang memiliki genotip HH, sebagian kecil memiliki genotip Hh dan dalam keadaan yang sangat jarang memiliki genotip hh. Karena gen-H diperlukan untuk mengubah precursor substance menjadi  H-substance, maka orang yang memiliki genotip hh tidak dapat membentuk H-substance yang selanjutnya tidak akan terbentuk Ag-A atau Ag-B walaupun dia memiliki gen-A atau gen-B , maka orang ini dikatakan memiliki golongan darah Oh (Bombay) dimana di dalam serumnya mengandung anti-A dan anti-B dan anti-H,  sedangkan golongan darah O normal serumnya hanya mengandung anti-A dan anti-B.
Karena adanya anti-H pada golongan darah Oh (Bombay), maka golongan ini inkompatibel terhadap golongan darah O normal, dan dia hanya dapat menerima donor dari golongan darah Oh (Bombay).


--- TERIMAKASIH, SEMOGA BERMANFAAT ---

Rabu, 22 Mei 2013

Apa Peranan Ubiquitinisasi dan Sumoylasi terhadap Proses Apoptosis dan Autifagi ??? ( Ubiquitin, SUMO, Apotosis, and Autophagy )




1.    Peran Ubiquitin dalam proses apoptosis?

  •    Melakukan tagging untuk mendegradasi protein melalui proteosomal dependent maupun proteosomal independent.
  •      Salah satu contoh adalah poliubiquitinisasi pada K128 dan ubiquitinisasi pada K119 dan 120 pada steady state protein anti apoptotik Bcl-B (menghambat kinerja protein pro apoptosis, bax ) yang berupakan satu family dari Bcl-2 protein mampu mengalami degradasi secara proteosomal dependent pada steady statenya à dibuktikan melalui adanya peningkatan lysinless Bcl-B mutant ( lysin yang merupakan tempat ubiquitinisasi dihilangkan) daripada tipe wildtypenya yang berkorelasi terhadap resisitensi terhadap  BH3 mimetic ( regimen terapi untuk mensupresi Bcl-2, Bcl-xl, dan Bcl-wàBH3 merupakan protein pro apototik) dan progresi beberapa tipe kanker tertentu à akibatnya proses apoptosis dapat terjadi jika terjadi poliubiquitinisasi pada protein tersebut. 
2.    Peran Ubiquitin dalam proses authopagy ?
  •         Autofagi melalui ubiquitinisasi merupakan proses degradasi selektif yang terjadi pada protein yang bersifat oligomerik dan yang dalam bentuk agregasi yang tidak dapat dengan baik  didegradasi oleh protesome 26s untuk mencegah  akumulasi agregat protein yang berbahaya. 
  •       Modifikasi ubiquitin pada agregat protein akan memicu rekritmen dari ubiquitin-binding factors p62 dan HDAC6.   Rekruitmen p62 akan berinteraksi dengan LC3-like molecules pada membran  autofagosomal untuk menuju tempat agregat protein tersebut. Sedangkan rekruitmen HDAC6 akan memicu cortactin-dependent  F-actin  remodeling  yang kemudian memicu fusi dari autophagosome dan lisosom.


3.    Peran Sumo dalam proses apoptosis?
  • Sumoilasi merupakan modifikasi posttranslational dengan penambahan small ubiquitin-like modifier (SUMO). Walaupun secara struktur menyerupai ubiquitin, sumoilasi tidak mengakibatkan degradasi tetapi memodifikasi sifat dan megarahkan subseluler lokalisasi substrat
  •      Salah satu contoh  contoh sumoylasi yang menyebabkan apoptosis adalah somylasi pada Mdm2 protein yang merupakan E3 ubiquitin ligase untuk  p53. Mdm2 mengalami konjugasi dengan SUMO-1 pada lys-446 yang berperan pada Mdm2 self ubiquitination sehingga Mdm2 terdegradasi dan p53 dapat bekerja untuk menginduksi apoptosis jika dibutuhkan.
  •         p53 memediasi apoptosis melalui jalur linier yang melibatkan transaktivasi  bax , translokasi bax dari sitosol menuju membran, pengeluaran sitokrom c dari mitokondria, dan aktivasi caspase 9 yang diikuti aktivasi caspase-3,6, dan 7. 
4.    Peran Sumo dalam proses authopagy ?
·    Sumoylasi juga dapat berperan pada proses autofagi walaupun pada protein yang sama pada proses apoptosis semisal p53.
·      Kombinasi postranslasional pada p53 ternyata mampu menentukan fungsi dari p53 secara berbeda. Pada sebuah penelitian kombinasi peran lysine acetyltransferase Tip60 ( asetilasi ) dan SUMO E3 ligase PIASy ( sumoylasi ) pada lisin p53 ternyata menginduksi proses autofagi
·        PIASy menempel pada p53 dan PIASy-activated Tip60 memicu sumoylasi K386  dan asetilasi  K120 dari  p53. Kedua mekanisme ini beraksi sebagai sebuah  "binary death signal" untuk memicu akumulasi sitoplasmik  p53 dan eksekusi PUMA-independent autophagy yang jika terjadi asetilasi K120 tanpa sumoylasi K386 dari p53 akan menyebabkan proses apoptosis.


Jumat, 26 April 2013

Pengaruh MMP-1 Terhadap Cell Behaviour ??????



           Secara umum seperti yang sedikit dibahas pada soal sebelumnya, matrix metalloproteinases (MMPs) merupakan keluarga protein yang terdiri lebih dari  25  bentuk sekretorik dan enzim permukaan sel merupakan enzim yang mampu mendegradasi berbagai zat periseluler. Target dari MMP ada berbagai macam seperti  proteinase lain, inhibitor proteinase, faktor pembekuan, molekul kemotaktis, faktor pertumbuhan laten, growth factor binding proteins, reseprot permukaan sel, molekul adhesi, dan semua struktur protein ekstraseluler (COPE, 2006). Dari fungsinya itu, MMPs mampu meregulasi banyak proses biologis lain termasuk meregulasi MMPs sendiri. Hal inilah yang juga menjelaskan potensi  MMPs  dalam partisipasinya dalam berbagai proses normal maupun patologis yang ada dalam tubuh manusia melalui peranya pada regulasi proliferasi, migrasi, diferensiasi, angiogenesis, apoptosi, dan pertahan tubuh seperti yang ditunjukkan pada gambar 3 di bawah (Pardo dan Mois, 2005).


Gambar 3. MMPs dan regulasi seluler

            MMPs sendiri dibagi menjadi 6 kelompok berdasarkan susunan domainnya dan jenis substrat dominanya sebagai berikut:
1.      Collagenases (MMP-1, -8 dan  -13)
2.       Gelatinases (MMP-2 dan MMP-9)
3.       Stromelysins (MMP-3, -10 dan 11)
4.       Matrilysin (MMP-7 dan MMP-26)
5.       Membrane-type (MT)-MMPs (MMP-14, -15, -16, -17, -24 dan -25)
6.      Lain-lain (MMP-12, -19, -20, -21, -23, -27 dan 28).

Dari semua jenis MMP, MMP1 merupakan satu-satunya enzim yang mampu menginisiasi pemecahan kolagen interstisial, kolagen tipe I, kolagen tipe II, dan kolagen tipe III. Aktivitas kolagenolitik ini diperantarai oleh domain hemopexin dari MMP1 pada C terminalnya. MMP1 juga dapat mendegradasi kolagen tipe VII dan X (COPE, 2006).
Selain dapat mendegradasi komponen matriks, MMP-1 ternyata memiliki fungsi dapalam memotong berbagai macam substrat nonmatriks dan molekul permukaan yang menunjukkan perannya dalam meregulasi perilaku seluler sebagai fungsi tambahan dari MMP1. Peran dalam proses ini juga dapat terjadi akibat proses pelepasan suatu zat dari tumpukan matriks ekstraseluler seperti pada degradasi perlecan yang mampu melepaskan FGF ( Sternlicht dan Zena, 2001).
Untuk meregulasi perilaku seluler seperti yang disampaikan di atas, substrat yang dipengaruhi MMP1 seperti  antichymotrypsin, antitrypsin, insulin-growth factor binding protein (IGFBP)-3, IGFBP-5, IL-I , l-selectin, ovostatin, tumour necrosis factor, stromal cell-derived factor-1 dan lain-lain. Luasnya jenis substrat yang dapat dipotong oleh MMP1 menunjukkan bahwa MMP1 merupakan molekul multifungsi. Sebagai contoh adalah MMP1 dapat berpartisipasi dalam regulasi insulin-like growth factor (IGF) dengan kemampuannya mendegradasi IGFBPs  yang berpotensi dalam menentukan perilaku seluler seperti proliferasi, migrasi, dan lain-lain seperti yang ditunjukkan pada gambar 3 dan 4 di bawah. selain itu, MMP1 ternyata juga memiliki peran penting dalam morfogenesis epitel yang bergantung pada peregerakan spesifik dari sel epitel (Pardo dan Mois, 2005).



Gambar 4. Mekanisme MMPs dalam regulasi IGFs

Gambar 5. Respon seluler terhadap IGFs

 Dari peranya yang beragam, regulasi yang tidak berjalan dengan baik mampu menciptakan proses abnormalitas pada tubuh.Arthritis, ulkus kronis, ensepalomielitis, dan kanker merupakan contoh akibat disregulasi MMP1. Metastasis tumor juga terbukti melibatkan MMP1 melalui diseminasi sel tumor dari tempat asalnya atau lokus primernya ( Sternlicht dan Zena, 2001).
.







Keterkaitan antara Sistem Membran dengan Protein MMP-14 ?????


        Matrix metalloproteinase-14 / MMP14 / MT1-MMP merupakan enzim yang dikode oleh MMP14 gene.  Keluarga MMP sendiri terdiri dari dua tipe yaitu tipe yang disekresikan dan yang melekat pada membran seperti ditunjukkan pada gambar 2.  MMP14 merupaka salah satu dari 6 jenis MMP membran yang telah diketahui dan yang paling diketahui karakternya. MMP14 diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan manusiaseperti usus, paru-paru, ginjal, ovarium, plasenta, prostat, dan limpa. Peningkatan ekspresinya juga dapat diaamati pada daerah penyembuhan luka (Kuscu et.al., 2010).

     MMP14 memiliki 7 domain dari N-terminal sampai C-terminal seperti yang nanpak pada gambar 1. Domain dan fungsinya adalah sebagai berikut:

  •         Peptida signaling yang dapat memicu MMP14 pada jalur sekretriknya
  •         Propeptida à menjaga MMP14 pada bentuk latennya
  •         Katalitik domain à bertanggungjawab terhadap aktifitas enzimatiknya
  •         Hinge region à menjaga konformasi yang tepat
  •         Hemopexin domain à dibutuhkan untuk reorganisasi substrat dari MMP14
  •         Transmembran domain à melekatkan MMP pada membran plasma
  •         Sitoplasmik domain à dibutuhkan untuk endositosis

Gambar 1.  Gambaran skematis struktur domain dari MMP-14


Gambar 2.  Jenis- jenis MMP
      
     Matrix metalloproteinase (MMP) sendiri merupakan keluarga protein yang berfungsi untuk memecah komponen matriks ekstraseluler pada  kondisi fisiologis normalnya seperti pada perkembangan embrionik, reproduksi, dan perbaikan jaringan. Protein ini juga berperan pada proses penyakit seperti artritis dan metastasis kanker (Liu et.al., 2010).
    MMP14 yang merupakan MMP membran, terkonsentrasi pada penonjolan sel yang disebut lamellipodia  pada jaringan normal dan disebut invadopodia pada sel kanker yang mampu memicu peningkatan yang bermakana pada migrasi sel dan invasi dengan mendegradasi komponen matriks ekstraseluler dan menghasilkan suatu jalur disekitar jaringan disekitarnya. Oleh karena fungsinya tersebut, MMP14 harus terikat pada membran plasma.hal tersebut dibuktikan dengan kemampuan MMP14 yang terikat pada membran dalam proteolisis jauh lebih besar daripada ketika MMP 14 dalam kondisi   bebas (Kuscu et.al., 2010).
      Dari segi fungsinya, MMP14 memiliki peran penting pada remodelling  matriks ekstraseluler dan meningkatkan migrasi sel. Selain itu, pada proses fisiologis penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang apabila jumlahnya tidak adekuat akan dapat menyebabkan dismorfism kraniofasial, artritis, osteopeni, dwarfisme, fibrosis jaringan lunak dan sebagainya. Pada keadaan dewasa, MMP14 juga dibutuhkan untuk proses penyembuhan luka. Semua fungsi di atas merupakan hasil dari aktivitas MMP14 dalam memotong atau aktivasi dari suatu protein yang mencadi substratnya yang terdiri dari  protein pada matriks ekstraseluler, pro-MMPs, molekul adhesi, sitokin, faktor pertumbuhan, dan reseptor dari membran sel.
     Penelitian terbaru  juga meberi gambaran tentang funsi lain MMP14 dalam aktivasi sinyal transduksi melalui cytoplasmic tail dari MMP14 yang penting dala mekanisme invasi. Secara garis besar fungsi MMP-14 yang terkait pada strukturnya pada membran sel selain untuk proses degradasi ECM adalah sebagai berikut:


1.      Lepasnya molekul permukaan sel (Shedding)ke dalam sitoplasma 

   Proteolytic shedding merupakan suatu tahapan fungsional yang penting dalam melakukan downregulasi dan regenerasi dari semua protein membran pada permukaan sel. MMP14 terbukti mampu menginduksi proses shedding pada beberapa molekul contohnya adalah Extracellular matrix metalloproteinase inducer (EMMPRIN) yang merupakan glikoprotein multifungsi yang berfungsi sebagai molekul adhesi dan induktor terhadap ekspresi MMP pada sel disekitarnya (Egawa et.al., 2006). Molekul adhesi lain yang juga dipotong oleh MMP14 sehingga mengalami shedding  adalah  E-cadherin sehingga menganggu hubungan antar sel. Pada kondisi ischemia-induced ARF (acute renal failure), ekspresi MMP14 dibutuhkan untuk mengganggu interaksi antara cadherin/catenin complex.  Selain molekul-molekul adhesi yang telah disebutkan, masih banyak molekul lain yang mengalami shedding akibat MMP14 yang berakibat positif (molekul adhesi pada proses metastase) dan negatif (molekul pengenalan MHC I untuk sel CTL atau NK) (Liu et.al., 2010).

2.      Pemotongan sitokin dan growth factors
      Fungsi ini dapat dijalankan MMP14 melalui proses tidak langsung melalui aktivasi pro-MMP-2 dan pro-MMP13 yang merupakan substratnya. Selain itu MMP14 juga mampu melakukan pemotongan langsung pada beberapa kemokin, secretory leukocyte protease inhibitor, pro-tumor necrosis factor, death receptor-6, dan connective tissue growth factor (Kuscu et.al., 2010)..


3.      Aktivasi ERK melalui cytoplasmic tail dari MMP14

     Selain fungsinya sebagai protein pemotong, MMP14 terbut=kti juga berperan pada proses penghantaran sinyal seperti aktivasi kaskade ERK (Extracellular signal-regulated kinases ) yang diduga melalui 573YCQR576 . Selain ERK, MMP14 juga ditengarai berperan pada  jalur p38 dan JNK (Janus Kinase) yang masih dalam tahap investigasi (Kuscu et.al., 2010).



Jumat, 12 April 2013

Bagaimana Kita Dapat Mengetahui Gejala Appendicitis/ Radang Umbai Cacing???


 Appendicitis merupakan proses keradangan yang terjadi pada apendiks atau umbai cacing pada usus kita.  Appendicitis sendiri dapat dibedakan menjadi Appendicitis akut dan kronis. Appendicitis akut lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Sedangkan Appendicitis kronis lebih sering terjadi pada wanita. 60 persen penyebab dari appendicitis  adalah karena hiperplasia kelenjar getah bening pada umbai cacing, 35% fekalit feses yang menjadi keras, 4% benda asing, dan 1% striktur/penyempitan lumen oleh karsinoma. Jika tidak mendapatkan penangan segera, appendicitis akut dapat menyebabkan kematian akibat komplikasi yang ditimbulkan karea ruptur atau pecahnya umbai cacing sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menilai kondisi secara baik untuk mencegah komplikasi tersebut. Secara sederhana, untuk gejala dan hasil dari pemeriksaan medis yang dapat ditemukan dan membedakan antara  appendicitis akut dan kronis dapat dilihat di bawah ini:


 Gejala yang dialami :
A. Akut: 

  • Anoreksia, mual, muntah (50%)
  • Demam
  • Nyeri  perut kanan bawah yang awalnya timbul pada daerah epigastik atau periumbilikal
  • Diare atau konstipasi (18%)
  • Onset/ timbul dalam waktu 48 jam (80% dewasa)

B. Kronis:

  • Nyeri kanan bawah (jarang)
  • Afebril/ tidak mengalami demam
  • nyeri hilang timbul yang dapat menyerupai kondisi akut selama lebih dari atau sama dengan tiga minggu 
  • Munculnya nyeri/onset dua minggu atau lebih (2%)
Pemeriksaan Fisik dan Tambahan

A. Akut: 

  • Kekakuan/tenderness pada daerah perut kanan bawah atau pada titik McBurney yaitu spertiga lateroinferior garis imaginer antara umbilikus dengan SIAS (spina iliaca anterior superior 
  • Rovsing sign : nyeri yang timbul pada perut kanan bawah akibat penekanan pada perut kiri bawah
  • Dunphy sign: nyeri yang abnormal ketika batuk
  • Psoas sign: nyeri yang timbul akibat interaksi antara umbai cacing yang radang dengan otot psoas yang meregang akibat ekstensi kaki kanan pada sendi panggul ketika pasien dalam posisi lateral decubitus
  • Obturator sign: nyeri yang timbul akibat interaksi antara umbai cacing dengan otot obturator internus yang meregang akibat  internal rotasi pada  sendi panggul ketika sendi lutut dan panggul difleksikan secara pasif  terlebih dahulu.

  • CT scan: penebalan pada appendiks, fekalit, infiltrasi mesentrik, abses jika terjadi ruptur atau infeksi berat
B. Kronis:

  • Tidak ada kekakuan/ tenderness pada perut akibat iritasi peritoneum
  • Tidak ditemukan leukositosis
  • CT scan: penebalan pada appendiks, fekalit, tidak ada infiltrasi mesentrik, tidak ditemui abses
    Nah jika kita menemukan adanya gejala appendicitis akut, segeralah ke rumah sakit untuk mendapatkan rencana penanganan secepatnya untuk mencegah pecahnya umbai cacing tersebut yang dapat mengakibatkan komplikasi-komplikasi sebagai berikut:
  • Penyebaran infeksi ke peritoneum dan organ lain
  • Abses intraabdominal
  • Sepsis
  • Ileus/ obstruksi usus yang berkepanjangan
  • Pneumonia
  • Infertilitas 
---TERIMAKASIH, SEMOGA BERMANFAAT---




Kamis, 28 Maret 2013

Bagaimana Hubungan Dyspneu & Edema dengan Gejala pada Pasien yang Mengalami Gangguan pada Sistem Kardiovaskuler ???


Dyspnea (breathlessness) dan edema sebenarnya tidak berhubungan secara langsung dan secara bersamaan pada setiap kasusnya. Namun kedua gejala ini sering terlihat bersama pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler. Berlebihnya cairan pada jaringan akibat kegagalan fungsi jantung mengakibatkan tumpukan cairan ini terakumulasi pada beberapa lokasi tergantung pada gaya gravitasi yang bekerja. Pada seseorang yang berdiri, edema akan terjadi pada area pergelangan kaki. Jika pada posisi duduk di kasur, bengkak akan terjadi pada daerah sacrum atau tulang ekor. Dan jika pasien tidur terlentang, cairan akan terkumpul di paru -paru atau dinamakan edema pulmonal yang dapat menyebabkan susah bernafas. Nah bagaimana kita bisa mengetahui adakah hubungan dyspneu dan edema dengan kegagalan jantung akan kita bahas lebih lanjut pada poin - poin di bawah ini.

A. Dyspnea (breathlessness)
    Pada pasien dengan gangguan jantung, beberapa hal tentang dyspneu yang penting kita untuk mempermudah dalam penetalaksanaan selanjutnya. Sebisa mungkin gejala pasien dapat dikuantifikasikan untuk mengetahui seberapa parah penyakit pasien dan bagaimana kita mengetahui bahwa terapi kita berhasil saat melakukan monitoring progresi dari penyakit.
 The NewYork Heart Association (NYHA)  telah mengklasifikasikan dyspneu berdasarkan data yang didapat dari beberapa pertanyaan berikut:
  • Seberapa jauhkah pasien dapat berjalan hingga dia tidak sanggup  berjalan dan berhenti (“march tolerance”) ???
  • Bagaimana ketika dia kesulitan ketika menaiki tangga atau bukit ?
  • Apakah ketidakmampuannya atau berhentinya disebabkan kesusahan bernafas ataukah ada alasan lain seperti nyeri sendi dan lainnya??
  • Apakah pasien telah mengalami hambatan pada aktivitas normal seharianya ?
 Untuk kriteria dan kelas dari heart failure berdasarkan NHYA  adalah sebagai berikut:
  • I   (mild) : tidak ada gejala saat istirahat, muncul pada aktivitas berat
  • II  (mild) : tidak ada gejala saat istirahat, muncul pada aktivitas sedang
  • III (moderate) :  kesusahan bernafas ketika istirahat, memburuk saat beraktivitas ringan.
  • IV (Severe) : kesusahan bernafas berat saat beristirahat , dan memburuk walaupun dengan aktivitas yang sangat ringan (pasien biasanya hanya bisa beaktivitas di tempat tidur)
Sumber: The Criteria Committee of the New York Heart Association (1994).  Nomenclature and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and Great Vessels . 9th ed. Boston: Little, Brown &
Co., pp. 253-256.

B.  Orthopnea
       Orthopnea adalah suatu peresaan susah bernafas ketika berbaring secara datar ada permukaan. Pasien biasanya  tidak menganggap  hal ini sebagai sebuah gejala sehingga kita sebaiknya menanyakannya secara langsung pada pasien  dengan pertanyaan sebaga berikut:
  • Berapa bantal yang dipakai pasien ketika tidur  untuk merasa nyaman? ( biasanya pasien mendiskripsikan bahwa dia tidur pada posisi hampir seperti ketika dalam possisi duduk )
  • Jika pasien  tidur harus menggunakan beberapa bantal, tanyakan mengapa ? apakah karena kesusuahan bernafas jika tidak berbaring datar pada temapt tidur ataukah ada alasan lain yang menyebabkan hal itu? 
C. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
     Berdasarkan namanya, PND  meliputi periode kesusahan bernafas yang terjadi pada malam hari  yang biasanya disebabkan oleh karena edema pulmonal. Dan gejala ini juga tidak disadari pasien dan tidak menjadi hal yang biasanya langsung dekemukakan sehingga sebaiknya kita tanyakan.
  • Apakah pasien terbangun pada malam hari karena batuk dan mencoba untuk mencari udara segar untuk dapat bernafas dengan nyaman ?
  • Jika ada, coba tanyakan dengan ebih detail, seberapa sering dan parah gejala tersebut mengganggu siklus tidur dari pasien?  
D. Batuk/ Cough
        Biasanya pada kasus edema pulmonal, pasien mengalami batuk dengan karakter berbusa (berasal dari saluran pernafasan) dan putih atau frothy white sputum. Biasanya juga ada bercak - bercak berwarna merah muda akibat ruptur dari pembuluh darah bronkial.

E. Edema pergelangan kaki
       Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada pasien yang masih berjalan aktif, cairan akan terkumpul pada pergelangan tangan dan menyebabkan edema. Jika kita menemui orang dengan edema, pertanyaan yang sebaiknya diajukan adalah?
  • Sebarapa lama pasien telah mengalami edema tersebut?
  • Adakah waktu dimana gejala semakin parah?? (pada edema akibat kelainan kardiak, biasanya memburuk pada waktu menjelang sore dan berkurang saat malam hari akibat redistribusi cairan tersebut)
  • Seberapa luaskah pembengkakan tersebut? (apakah hanya di kaki dan pergelangan tangan  atau melebar ke  paha, lutut, ataupun sampai genitalia dan dinding perut ???(semakin besar akumulasi, semakin berat penurunan fungsi jantung)
  •  Adakah bukti adanya ascites  atau pembengkakan abdomen??

--- TERIMA KASIH, SEMOGA BERMANFAAT---